Puasa Sunnah dalam Setahun
Diposting oleh admin ⋅ 2 July 2010 ⋅ Kirim buletin ini Kirim buletin ini ⋅ Cetak buletin ini Cetak buletin ini ⋅ Kirim komentar
At Tauhid edisi VI/27
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran
puasa disebutkan dalam hadits berikut, “Setiap amalan kebaikan yang
dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku.
Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan
syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan
dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan
ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa
lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no.
1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi
kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan
derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al
muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah
mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan
sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku
akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar,
memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi
petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
Pada kesempatan kali ini, Buletin At Tauhid mencoba mengangkat
pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari
Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku
sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur
lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa
pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no.
1739. Shahih)
Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.”
Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?”
‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa
(artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709.
Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari
ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul
biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul
biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no.
2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya,
maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).”
(HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
Puasa Daud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling
disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai
Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan
bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa
berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim
no. 1159)
Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan
sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu
dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan
puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan
lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk
belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah
lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat
jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul
Muwaffiq.”[3]
Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud
di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh
harinya[4]) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[5] Para
ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar
tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[6]
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa
Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti
berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal
sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan
Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At
Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih).
Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja,
tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[7] Di
antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada
hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[8], …”
(HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
Puasa ‘Arofah
Puasa
‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al
Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai
keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus
dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga
ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa
’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa
‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan
minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan
shahih).
Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan
adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163).
An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan
bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[9]
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah
di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk
melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan
dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk
menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu
Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum
muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai
Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya
Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari
kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim
no. 1134).
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum
makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu
mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau
begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang
lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah
berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka
beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi
aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam
Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di
siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan
bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya
adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi
seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin
meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat
Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk
juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap
menyempurnakan puasa tersebut.[10]
Ketiga: Seorang istri tidak
boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan
seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya
ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no.
1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan
dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan
waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang
dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan
segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi
gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang
sebenarnya bisa diakhirkan.”[11] Beliau rahimahullah menjelaskan pula,
“Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena
ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa
bersenang-senang dengannya.”[12]
Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih. [Muhammad Abduh Tuasikal]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar